Oleh : Wayan Indra Lesmana, SH.
Mahasiswa Megister Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB) 2023

Kegiatan pertambangan timah di Provinsi Kepulauan Belitung bukanlah merupakan hal yang baru. Melainkan suatu hal yang telah dilakukan sejak abad ke-18 atau sudah berlangsung selama 3 abad lalu. Dilihat dari segi ekonomi, semestinya keberadaan timah di Bangka Belitung yang begitu melimpah hingga menjadi nomor satu di Indonesia dan disebut-sebut sebagai salah satu penghasil timah terbesar didunia, mestinya Provinsi Bangka Belitung telah menjadi provinsi kaya atau dapat kita simpulkan kehidupan masyarakatnya sejahtera.

Namun apa yang kita lihat sekarang angka kemiskinan masih reltive tinggi yang mencapai 68,69 ribu, angka stunting 18,5% angka anak putus sekolah mencapai 3,62% yang merupakan paling tinggi di Indonesia (2022). Data-data tersebut menunjukan betapa berpihaknya timah itu yang digadang-gadang sebagai emas hitam dari Bangka Belitung.

Permasalahan tambang timah di Bangka Belitung dapat dikatakan muncul yang pada mulanya di PT Timah terdapat Tambang Inkonvensional (TI) yang mana ketika perusahaan itu masih melakukan kegiatan penambangan darat di Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini muncul karena PT Timah melihat daerah-daerah yang tidak ekonomis untuk dilakukan kegiatan pendulangan oleh PT Timah sendiri. Kebijakan PT Timah mengakibatkan maraknya penambangan masyarakat dan para mitra PT Timah lebih banyak menampung hasil produksi TI dibandingkan produksi sendiri. TI menjadi semakin marak pasca diterbitkannya Keputusan Menperindag Nomor 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999 yang mengkatagorikan timah sebagai barang bebas (tidak diawasi). Padahal sebelumnya, mengacu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang pertambangan umum, kebijakan pengelolaan pertambangan timah merupakan kewenangan pemerintah pusat. Apabila pada awalnya pengelola tambang TI melakukan penambangan di areal kuasa penambangan yang ditentukan oleh PT Timah. Namun sejak era reformasi tambang TI berkembang diluar kendali dan menjadi penggalian pasir timah tanpa izin yang merambah di semua lokasi, seperti di hutan, kebun, pemukiman, sungai, kolong, dan berbagai lokasi yang diperkirakan mempunyai deposit bijih timah yang ekonomis untuk ditambang.

Maraknya tambang TI mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat masif tentu ini menjadi pertanyaan siapakah yang bertanggungjawab sedangkan pelaku tambang TI sebagian adalah masyarakat bukan badan hukum yang memiliki izin pertambangan. Apa dasar membebankan masyarakat pelaku tambang TI untuk bertanggungjawab mengembalikan lahan yang rusak akibat penambangan timah.

Sebagaimana kita ketahui kegiatan tambang timah inkonvensional (TI) ini berperan sangat penting dalam menopang perekonomian masyarakat hal ini secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Mengapa penting bagi pertumbuhan ekonomi? ini dapat kita amati pada saat ini masyrakat Bangka Belitung cenderung tertarik melakukan TI meskipun itu ilegal karena dapat menghasilkan uang secara cepat dibanding sektor lain seperti perkebunan. Hal ini cenderung membudaya di kalangan masyrakat sehingga masyarakat beranggapan untuk mendapatkan uang cepat ialah dengan TI.

Besar dan mengakarnya TI di kalangan masyarakat Bangka Belitung tidak diikuti dengan regulasi yang mengaturnya. Hal ini berimplikasi kepada kerusakan lingkungan yang tercipta akibat tambang-tambang timah ilegal (TI). Dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Baru jelas ditentukan bahwa setiap kegiatan pertambangan itu harus memiliki izin. Resikonya bagi masyarakat yang melakukan TI ilegal sudahlah jelas melakukan tindak pidana yang berujung bui.

Berbicara masyarakat yang melakukan TI/ilegal jelaslah menjadi suatu dilema yang berkepanjangan selama hukumnya tidak mengikuti dan mengakomodir itu, satu sisi ada ekonomi yang harus terus dipenuhi dan disisi lain ruang penjara telah menanti. Kemudian apakah masalah ini dapat diatasi ketika berkembangnya praktek berhukum yang mengedapankan rasa keadilan yang hidup dimasryakat seperti Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif oleh Kejaksaan Republik Indonesia (Peraturan Kejaksaan No. 15 tahun 2020) namun aturan ini belum diterapkan terhadap pelaku tambang ilegal akan tetapi misalnya adanya tuntutan masyarakat yang menginginkan hal itu dapat di selesaikan secara Restorative Justice apakah juga dapat menyelesaikan akar permasalahannya hal ini tentu saja tidak karena masyarakat menambang karena lebih rasional mereka memikirkan hidup ketimbang harus terbelenggu rasa takut akan bui.

TI/ilegal bukan saja masalah pidananya karena ilegal tetapi masalah yang komplek yaitu kerusakan lingkungan sepertinya pencemaran air, kerusakan hutan, lahan tidak subur, dan lain sebagainya. Tentu permasalah ini menjadi masalah yang memberi imbas kepada generasi-generasi mendatang yang akan menikmati sulitnya air bersih dan sebagainya tanpa pernah merasakan betapa indahnya hidup dari emas hitam.

Dalam penyelesaian permasalahan ini semestinya diikuti dengan regulasi yang mengaturnya. Regulasi disini ialah regulasi yang mengedepankan sosial masyarakat tanpa menghilangkan sifat lestari lingkungan hidup itu sendiri. Kebiasaan, Norma, dan Kesusilaan yang ada dimasyarakat sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum dimasyarakat.

Semestinya pembentukan hukum itu harus mengedepankan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat itu sehingga diperoleh keadilan dimasyarakat (justice) kemudian konteksnya dan barulah hukumnya (rulenya). Dengan cara ini diharapkan mampu memecahkan kebuntuan sehingga masyrakat tetap dapat menikmati indahnya emas hitam sekaligus lingkungan hidup yang sehat dan berkualitas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *