Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kini tengah bergelut dengan pariwisata. Ini dilakukan pasca tambang timah yang sejak lama sudah menjadi primadona. Salah satu bentuk pengembangannya adalah kawasan konservasi flora dan fauna Pulau Anggrek Elsye Lestari yang berlokasi di Sungai Upang, Desa Tanah Bawah, Kecamatan Puding Besar, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Laporan : Hairul / KABARBABEL.COM
Di kawasan konservasi ini terdapat 123 jenis spesies tanaman anggrek. Tujuh puluh enam diantaranya telah terindentifikasi dan tiga diantaranya termasuk dalam tanaman yang dilindungi. Pulau Anggrek Elsye Lestari dibawah pengelolaan komunitas pecinta lingkungan Bangka Flora Society (BFS) dan Sahabat Alam Sungai Upang, Desa Tanah Bawah. Dibantu masyarakat, Pemerintah Desa Tanah Bawah serta PLN Wilayah Bangka Belitung, kini kawasan Sungai Upang terus dikembangkan.
Untuk mencapai lokasi konservasi tidaklah sulit. Jarak dari Sungailiat menuju Desa Tanah Bawah sekitar 54 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 1 jam 15 menit menggunakan mobil. Sementara waktu tempuh menggunakan motor adalah sekitar 58 menit. Jika sudah sampai di Desa Tanah Bawah, pengunjung akan menempuh jarak sekitar tujuh kilometer untuk sampai ke lokasi sungai. Dengan menyusuri tanah merah yang dikelilingi perkebunan warga, rasa penasaran akan segera terbayar saat memasuki areal Sungai Upang.
Sungai sepanjang 10 kilometer ini menjadi sumber air bersih dan ikan bagi masyarakat sejak lama. Umumnya usai berkebun dan bertani, masyarakat mulai mencari ikan untuk kebutuhan lauk sehari-hari. “Biasanya sore sepulang dari berkebun. Jenis ikan beragam. Ada toman, baung dan tapah,” terang Pajri, salah satu pemuda Desa Tanah Bawah.
Pajri merupakan satu diantara 1.619 jiwa masyarakat Desa Tanah Bawah. Dengan luas desa 6.435 hektare, ragam profesi digeluti masyarakat. Umumnya ialah petani. Baik lada, karet, dan sawit. “Kami sadar pentingnya sungai ini. Selain sumber air baku, juga sebagai penghidupan warga. Saat menangkap ikan, warga hanya menggunakan peralatan tradisional. Bubu, jaring atau pancing,” lanjutnya. Prilaku arif masyarakat ini terus bertahan sampai sekarang. Anak Sungai Jeruk yang mengalir di Desa Payak Benua, dan bermuara ke Selat Bangka ini kini terus terbebas dari aktivitas penambangan timah.
Yuli Tulistianto, inisiator Konservasi Biodiversity Sungai Upang mengamini ekosistem Sungai Upang sangat baik. Atas dasar itu pula, tahun 2017, kawasan Sungai Upang oleh pemerintah setempat dijadikan area konservasi keragaman hayati seluas 40 hektar. Menurutnya, ada sekitar 36 jenis ikan yang sudah diidentifikasi dengan ikan Tapah sebagai unggulan. “Mentilin, rusa, lutung, pelanduk dan berbagai jenis burung juga ada disini,” terangnya.
Seluruh keragaman hayati itu membentuk rantai ekosistem yang saling melengkapi. “Seperti halnya tumbuhan rasau, berguna untuk mengurangi sedimentasi sungai dan tempat ikan bertelur. Ada juga pohon perupuk, yang buahnya jika jatuh ke air menjadi makanan bagi ikan. Ini harus kita jaga,” pintanya.
Ketersediaan ragam flora, fauna dan fasilitas pendukung di Sungai Upang kata Yuli, tak terlepas dari sentuhan PLN Wilayah Bangka Belitung, Pemerintah Provinsi Bangka Belitung dan Pemerintah Kabupaten Bangka. Yuli menerangkan ketiga pilar ini memberikan dukungan atas kegiatan konservasi lingkungan. Berbagai dukungan diberikan baik secara moril maupun materil guna dimanfaatkan kedepannya. “Jalan susur, kapal dan pondok persinggahan ini merupakan CSR PLN Wilayah Babel,” terang Yuli.
General Manajer PT PLN Wilayah Babel Abdul Muklis menerangkan, pembangunan fasilitas Sungai Upang sebagai bentuk komitmen perusahaan di bidang lingkungan hidup. Kata Muklis, selain pembangunan jalan susur, kapal dan pondok persinggahan, PLN juga sudah menanam 2.000 pohon di kawasan Sungai Upang. Mulai dari nyatoh, ubak, bamboo, kayu perupuk hingga 9 spesies anggrek khas Bangka Belitung. “Apa yang dilakukan PLN ini tidak hanya sebagai upaya pelestarian alam, tetapi juga dapat meningkatkan kunjungan wisatawan dan perekonomian masyarakat,” terangnya.
Muklis menambahkan, selain Sungai Upang, sentuhan lain melalui program CSR juga dilakukan PLN Wilayah babel di 10 desa wisata. Sepuluh desa wisata itu tersebar di Pulau Bangka dan Belitung. Seperti di Pangkalpinang, bersama dengan komunitas Alobi, PLN melakukan pelestarian lingkungan hidup melalui pembuatan mini zoo sebagai sarana habituasi dan edukasi satwa. Disini pengujung dapat menikmati sekaligus berinteraksi dengan satwa-satwa yang sedang dihabituasi sebelum nantinya dilepaskan ke alam. Tidak jauh dari lokasi mini zoo, PLN kata Muklis juga berkolaborasi dengan komunitas Rasau untuk mengembangkan pusat kuliner, UMKM da n taman bermain keluarga.
“Ada juga di Kabupaten Bangka Tengah, PLN berkolaborasi dengan komunitas peduli hutan dengan mengembangkan produk-produk hasil agrowisata. Di Desa Kenanga, Kabupaten Bangka PLN melakukan pelestarian lingkungan hidup melalui penanaman pohon mangrove, trembesi dan tanaman produksi. Di sini pengunjung dapat menikmati paket wista tanam pohon,” katanya.
Sedangkan di Desa Sungaiselan, bersama dengan kelompok nelayan melakukan peningkatan kesejahteraan nelayan dengan penguatan fungsi koperasi. “Di Pulau Belitung, kolaborasi dilakukan dengan Desa Terong untuk mengelola wisata bekas lahan tambang menjadi agrowisata dan kuliner. Masih tidak jauh dari Desa terong, PLN melakukan pembinaan di Desa Keciput dengan mengembangkan wisata penangkaran dan pelepasan penyu,” ungkap Muhklis.
Wisata mangrove yang saat ini cukup berkembang juga digarap bersama dengan komunitas Desa Tanjung Tinggi melalui wisata tracking mangrove dan Desa Sijuk melalui wisata susur mangrove menggunakan kapal listrik, sehingga pengunjung dapat menikmati mangrove beserta dengan satwa-satwa unik di sekelilingnya.
Selain itu, di Batu Mentas, PLN melakukan pembinaan melalui penangkaran Menthilin yang merupakan satwa langka khas Bangka Belitung. “Dalam mengembangkan kawasan binaan, PLN selalu mengedepankan program pemberdayaan yang berkelanjutan sehingga pada akhirnya masyarakat menjadi mandiri dan memberikan dampak ekonomi dan mendorong perkembangan pariwisata,” bebernya.
Atas itu semua, PLN Wilayah Babel kata dia diganjar penghargaan Indonesia Green Award (IGA) 2020 untuk kategori pengembangan keanekaragaman hayati. “Alhamdulillah, sampai saat ini kami berkomitmen untuk selalu berkontribusi membangun Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui program-program pelestarian lingkungan, ekonomi kreatif, dan kesehatan,” tutupnya.
Konsep Pentahelix
Apa yang dilakukan PLN Wilayah Bangka Belitung menurut Bupati Bangka Mulkan,SH,MH sebagai konsep pentahelix. Kekuatan pembangunan suatu wilayah perlu didukung oleh semua elemen yang ada. Tidak bisa percepatan pembangunan hanya bisa dilakukan satu pihak. Maka hadir konsep pembangunan ‘pentahelix’ dimana unsur pemerintah, masyarakat atau komunitas, akademisi, pengusaha, dan media bersatu membangun kebersamaan dalam pembangunan.
“Membangun peradaban manusia tidak bisa dilakukan oleh satu elemen. Dalam teori perubahan ada istilah ‘pentahelix’, ‘penta’ adalah lima dan ‘helix’ adalah jalinan,” kata Mulkan.
Unsur pemerintah sambung Mulkan guna merumuskan sebuah kebijakan melalui keputusan. Sedangkan akademisi, melalui kekuatan knowledge power menghadirkan ilmu yang menghadirkan hidup ini lebih cepat, lebih murah, lebih berfaidah. “Juga unsur pebisnis atau pengusaha. Disini, sentuhan seperti yang dilakukan PLN di Sungai Upang dan kemajuan pariwisata perlu dicontoh pihak lain,” terangnya.
Selain itu, terdapat juga unsur media dan komunitas masyarakat. Sungai Upang menurut Mulkan sudah meramu hal ini. Mulkan berharap, Sungai Upang terus terjaga kelestariannya sampai kapanpun. Sehingga, bisa terus dinikmati anak cucu kedepan. (**)