Oleh : Mo
Ketua Majelis Adat dan Budaya Melayu Indonesia Kabupaten Bangka
Pesta demokrasi yang telah diselenggarakan beberapa bulan lalu tepatnya tanggal 27 September 2024, telah melahirkan pemimpin–pemimpin yang defenitif di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Dari data yang ada, sebanyak 37 daerah yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah memiliki calon tunggal dan berhadapan dengan kotak kosong. Dari 37 daerah tersebut menyisahkan 2 daerah yang dimenangkan oleh kotak kosong. Berdasarkan Undang – undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang – Undang, maka harus dilakukan Pemilihan Kepala Daerah ulang pada tahun berikutnya.
Ada fenomena apa sebenarnya yang terjadi di dua daerah ini yang menjadi pertanyaan publik. Apakah masalah trust (kepercayaan) masyarakat sudah luntur kepada pasangan calon tunggal. Ataukah terlalu yakinnya pasangan calon tunggal untuk melenggang pasti sehingga menjadi kepala daerah. Atau masyarakat tidak suka lagi dengan tipe atau gaya kepemimpinan yang selama ini terjadi. Dari semua pertanyaan tersebut masyarakatlah yang paling tahu untuk menjawabnya. Sehingga kotak kosong menjadi pemenang dalam kontestasi pesta demokrasi pemilihan Kepala Daerah.
Namun demikian dari sudut pandang politik, bisa jadi merupakan kegagalan dalam pelaksanaan demokrasi di dua daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini. Hal ini bisa kita telisik dari mulai pencalonan pasangan calon Kepala Daerah yang begitu banyak partai politik sebagai pendukung sekaligus pengusung pasangan calon tunggal sehingga tidak ada lagi celah dan kesempatan pasangan calon lain untuk mencalonkan diri karena semua kendaraan sudah ditumpangi. Ataukah para tokoh politik di dua daerah ini menjadi penakut untuk tampil dan bertanding sehingga tidak ada yang namanya calon tunggal.
Di sisi lain bisa dikatakan kalangan partai politik tidak berhasil mencetak sosok kader partainya untuk ditampilkan di panggung pesta demokrasi. Jika itu terjadi tentunya akan semakin sengit pertarungannya.Tetapi timbul pula pertanyaan, apakah Partai – partai politik yang mendukung tersebut betul-betul bisa dipercaya 100 persen mendukung. Kalau secara mekanisme politik bisa kita jawab iya. Karena secara organisatoris telah terpenuhi persyaratan pasangan calon kepala daerah untuk mencalonkan sebagai calon Kepala Daerah dalam pemilihan Kepala daerah.
Namun demikian pertanyaan selanjutnya, apakah orang–orang yang berada di bawah payung partai politik tersebut akan mendukung pula. Jawabannya adalah bisa iya dan bisa tidak. Kalau kita sorot balik pelaksanaan pemilihan kepala Daerah di 2 daerah yaitu Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka, bisa jadi partai politiknya mendukung tetapi orang-orang partainya belum tentu mendukung atau sama sekali tidak mendukung secara hak memberikan suara. Terbukti pasangan calon tunggal tumbang dan dimenangkan oleh Kotak Kosong.
Dari sudut pandang gaya dan tipe kepemimpinan bisa juga masyarakat sudah bosan dengan tipe kepemimpinan yang lama dengan karakter dan gayanya. Masyarakat bisa jadi menginginkan tipe kepemimpinan yang lebih sejuk, tidak emosional, dan lebih terbuka untuk mendengarkan saran dan masukan dari masyarakat maupun dari para birokrat yang dipimpinnya.
Orang bijak mengatakan bahwa seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan intlektual (IQ) namun tidak dibarengi dengan kecerdasan emosional (EQ) serta Kecerdasan Emosional Spiritual (ESQ), maka menjadi sia – sia kecerdasan intlektual yang ia miliki.
Kegagalan demokrasi di dua daerah ini melahirkan konsekuensi yang baru, yaitu pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah Ulang yang diagendakan pada tanggal 27 Agustus 2025 mendatang yang pada akhirnya menambah beban APBD. Betapa tidak kondisi keuangan di dua daerah tersebut dalam keadaan tidak baik-baik saja seiring dan sejalan dengan kondisi fluktuasi ekonomi di provinsi Kepulauan Bangka Belitung saat ini yang tercatat dalam data BPS terakhir adalah 0,94 persen dalam pertumbuhan ekonominya sebagai imbas dari persoalan hukum dalam tata kelola niaga timah yang menghebohkan seantearo negeri ini.
Akankah pelaksanaan pesta demokrasi ulang di dua daerah ini akan semakin sengit dan bisa melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang bisa mengadaptasi diri dengan gaya kepemimpinan di era digitalisasi dewasa ini. Era di mana para kalangan birokratnya yang akan berganti dengan kalangan muda yang lebih energik dan memiliki tipe dan gaya milenial. Kita tunggu tanggal mainnya.