AIRGEGAS, KABARBABEL.COM – Salah seorang tokoh masyarakat di Kecamatan Airgegas, Bangka Selatan (Basel) Provinsi Bangka Belitung (Babel) Djulaili Romli mengulas sedikit sejarah Telok Herujo yang dibuatkan festival untuk memeriahkan HUT ke-20 Basel tingkat kecamatan, Rabu (15/2).
Saat ini, kata anggota DPRD Basel dua periode 2004-2009 dan 2009-2014 itu, Telok Herujo ialah budaya satu-satunya yang ada di Babel, persis di Kecamatan Airgegas. Wajar saja apabila tradisi ini sudah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda menilik sejarahnya cukup panjang. Dan terus ada di sana.
“Tahun ini saya sudah 66 tahun, budaya ini sudah ada sejak saya belum lahir, artinya sekitar 70 tahun lalu sudah ada dan secara nasional tadi kita dengar satu-satunya hanya di Kecamatan Airgegas. Jadi panjang sejarahnya ini mengapa disebut telok herujo,” ujarnya saat dibincangi pada Rabu (15/2) sore.
Diceritakan Djulaili, sekitar tahun 1950 an lalu, salah satu kegiatan besar bagi masyarakat ialah menikahkan anaknya. Hanya saja, penghasilan masyarakat utama dari pertanian membuat acara besar ini dilaksanakan secara serentak. Yaitu saat musim panen berlangsung. Lalu lahirlah tradisi pengantin massal.
Akan tetapi, sebelum menuju dewasa dan menikah, para orang tua terdahulu mewajibkan anak-anaknya untuk belajar mengaji dan menamatkan kitab Al-Qur’an. Sehingga saat anak-anaknya sudah dewasa dan menikah bertepatan dengan momentun musim panen, ada dua tradisi yang biasa dilaksanakan.
“Pada saat malam acara berlangsung, ada tradisi arak-arakan pengantin yang dihiasi dengan payung lilin. Paginya itu ada arak-arakan teluk serujo tadi yang disebut bertamat, khataman Al-Quran. Inilah awal muncul tradisi ini. Sesuatu yang unik. Saya sangat sedih pandemi kemarin tidak ada acara tahunan ini,” katanya.
Semua desa di Kecamatan Airgegas, ia menyebutkan biasanya rutin menggelar tradisi arak-arakan telok herujo. Namun ini juga diselenggarakan di pelbagai desa yang lain di Negeri Junjung Besaoh apabila ada tradisi pengantin massal. Seperti di Desa Serdang, Jeriji yang sampai saat ini rutin dilakukan.
“Kalau di Desa Bikang, Gadung Toboali itu memang ada tapi tidak se meriah di tempat lain. Kalau di Airgegas semua desa menggelar. Harapan saya khusus untuk generasi muda untuk dilestarikan dengan mempelajari semua sejarahnya sehingga tradisi ini tetap ada hingga di tahun-tahun mendatang,” ungkapnya.(dev)