IBROHIM, S.H, M.H
MANAGING PARTNER
LAW OFFICE IBRA ATTORNEY AT LAW
Kebijakan pembagian kuota haji sebanyak 20.000 orang dengan rincian 10.000 jamaah haji reguler dan 10.000 jamaah haji khusus yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Agama No. 130 Tahun 2023 tentang Kouta Haji Tambahan Tahun 1445 H/2024 Masehi apakah merupakan tindakan atau perbuatan yang salah memenuhi unsur melawan hukum sebagaimana dimaksud Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi?
Unsur melawan hukum merupakan tindakan atau perbuatan yang dipersalahkan karena melangkahi prosedur atau aturan yang benar. Sebagaimana diketahui Kuota tambahan haji sebesar 20.000 jamaah merupakan kebijakan dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk jamaah haji Indonesia. Di dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 Menteri Agama memiliki kewenangan menetapkan dan mengatur kuota haji tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 bahwa , “(1) Dalam hal terdapat penambahan kuota haji Indonesia setelah Menteri menetapkan kuota haji sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2), Menteri menetapkan kuota haji tambahan; (2) Ketentuan mengenai pengisian kuota haji tambahan diatur dengan Peraturan Menteri.
Kebijakan penetapan dan pengaturan pembagian kuota tambahan telah diatur dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 130 Tahun 2024 sebagai turunan dari Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Nomor 8 Tahun 2019. Adapun penetapan dan pengaturan kuota haji dasar telah diatur sebelumnya dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1005 Tahun 2023 yang menetapkan 8 % (delapan persen) kuota haji khusus dan 92% (sembilan puluh dua persen) kuota haji reguler.
Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Nomor 8 Tahun 2019 tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai pembagian kuota haji jika ada tambahan kuota haji (Pasal 9). Atas dasar aturan di atas dan beberapa pertimbangan situasional dan teknis, Menteri Agama yang waktu itu dijabat oleh Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan diskresi tentang kebijakan pembagian kuota haji tambahan sebagaimana dimuat dalam Keputusan Menteri Agama No. 130 Tahun 2024.
Oleh karenanya kebijakan pembagian kuota haji tambahan bukanlah tindakan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tindak pidana korupsi, sehingga menurut prinsip hukum pidana Indonesia menyatakan tiada pidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sist rea).
Polemik kuota haji tambahan tahun 2024 telah memicu reaksi berbagai pihak. Proses penyelidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menimbulkan bias sepertinya bukan lagi persoalan hukum, tetapi lebih mengarah kepada muatan unsur politis. Karena hingga kini belum ada satupun penetapan Tersangka dari prahara perkara dugaan korupsi kuota haji.
Publik sangat berharap eksistensi KPK dalam penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi haruslah diperkuat untuk tujuan kebenaran dan keadilan. Penegakan hukum tersebut haruslah murni (pure) tanpa intervensi atau pesanan politik. Pengumuman dugaan tindak pidana kuota haji oleh KPK telah menjadi bias dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga menimbulkan polemik di masyarakat. Oleh karenanya penegakan hukum harus mencerdaskan dan mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
