Gagal bukanlah akhir dari segalanya. Mungkin sepenggal kalimat ini cukup tepat menggambarkan kisah Robin. Dia yang dulunya bermimpi menjadi pemain bulu tangkis profesional tetapi di perjalanan justru berkiprah di dunia kepelatihan tingkat Internasional.
Laporan : Devi Dwi Putra
Bagaimana tidak, jebolan PB JBS Toboali ini kini melatih Al-Faraa Club sebuah tim yang bermarkas di Kota Riyadh. Ya, tim bulu tangkis tersebut milik Pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan dibina langsung melalui kementerian olahraga setempat.
Saat dihubungi media ini, dia kemudian menceritakan bagaimana bisa sampai mendapatkan job sebagai pelatih badminton di Negara Minyak tersebut. Tepatnya beberapa waktu lalu, Robin dihubungi salah seorang yang berujar dari Federasi Bulu Tangkis Arab Saudi.
Kata pihak federasi dalam obrolan saat itu sedang membutuhkan seorang yang dapat melatih di Al-Faraa Club. Kemudian mereka meminta Robin untuk melatih di sana dan mempersiapkan dokumen keberangkatan.
“Kemudian saya sempat bernegosiasi dengan manajemen tim dan setelah semuanya cocok, saya akhirnya berangkat ke sana bulan Januari 2022 kemarin dan mendapat kontrak selama 1 musim hingga bulan Desember mendatang,” ujarnya, Kamis (24/3) saat dihubungi via telepon.
Nantinya, kata Robin pihak manajemen tim akan kembali melakukan pembicaraan 1 bulan sebelum kontrak berkahir terkait masa depannya. Apakah akan diperpanjang atau tidak. Namun ia mengaku belum memikirkan hal dan hanya fokus melatih timnya.
Bagaimana caranya agar atlet dan anak didiknya terus meningkatkan kemampuan sesuai metode latihan dan program kerja yang telah disusun. Sehingga mampu berbicara banyak dan menorehkan prestasi di tingkat national maupun Internasional.
“Kalau untuk kesan pertamanya ketika datang ke sini itu biasa saja ya, karena sebelumnya juga kan sempat tinggal di Dubai selama kurang lebih tiga tahun. Waktu itu juga melatih di dua tim yang berbeda. Jadi ketika berada di Kota Riyadh ini tinggal menyesuaikan saja,” ujarnya.
Namun demikian, sebelum berbicara lebih jauh ke arah sana, kurang lengkap rasanya jika belum tahu secara tentang Robin, bagaimana mulanya ia mengenal badminton hingga mampu menghantarkannya menjadi pelatih profesional bertaraf Internasional saat ini.
Robin merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Ia dilahirkan 26 tahun lalu dari pasangan Jainudin dan Rosida di Sungai Pedada, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan yang Kini dikenal dengan Desa Simpang Tiga.
Ayahnya hanya seorang wiraswasta. Sedangkan ibunya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Pada saat masih kecil orang tuanya merantau ke Bangka Selatan, Jl Damai Kelurahan Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali. Robin dibawa dan dibesarkan di sana.
Robin berkata, ia menamatkan jenjang pendidikan formal yang pertamanya di SDN 8 Toboali. Jenjang menengah di SMPN 2 Toboali dan menyelesaikan jenjang akhir sebagai bagian dari wajib belajar 12 tahun di satu diantara sekolah yang berada di Pulau Jawa.
Saat berada di Pulau Jawa, dia sempat menjadi seorang mahasiswa. Beberapa tahun kemudian, Robin akhirnya wisuda dan bergelar Sarjana Pendidikan di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan, Cimahi.
Awal Mula Mengenal Badminton & Mengidolakan 2 Sosok Ini
Robin mengaku mengenal olahraga ini pada saat usianya menginjak 7 tahun. Kala itu, ayahnya yang hanya sekadar hobi bermain memanfaatkan halaman luas tanah merah di depan rumahnya. Dipasang net dan dibuat garis ala-ala lapangan bulu tangkis.
“Jadi di depan rumah itu ada halaman cukup luas dengan tanah merah, lalu ayah saya beli net dan pasang garis. Dari sini mulai bermain, saya ingat betul kalau habis main, kaki sampai merah semua karena debu. Memori itu sangat berkesan sampai sekarang,” kenangnya.
Seiring berjalannya waktu, Robin mulai bermain di Gedung KUD, tempat latihan badminton di Kota Toboali. Di sini, ia terus bermain hingga akhirnya potensi yang dimiliki Robin dimonitor seseorang yang dulunya merupakan pelatih dan pengurus bulu tangkis Basel.
Dia adalah Fauzi. Pak Fauzi yang akrab disapa kala itu mengarahkan Robin untuk bergabung di Tim PB Junjung Besaoh (JBS) Toboali dan Tim Badminton Basel. Ia kemudian dilatih oleh Pelatih Aan hingga membuatnya terus berkembang.
“Awal mula saya semakin giat latihan saat gabung ke JBS, latihan di gedung nasional waktu itu. Di sana memang saya dan yang lain betul-betul dibina kemampuan untuk persiapan mengikuti kejuaraan-kejuaraan seperti popda, porprov, O2SN,” katanya.
Robin yang terus berkembang dibawah PBSI Basel melalui JBS Toboali pada akhirnya berhasil mempersembahkan medali saat berpartisipasi dalam pelbagai kejuaraan dan kompetisi yang digelar kala itu. Baik di tingkat daerah, provinsi dan nasional.
Namun demikian, torehan ini lantas tak membuatnya berpuas diri. Robin justru semakin giat berlatih agar bisa menjadi seperti dua sosok yang diidolakannya. Ialah Candra Wijaya pemain ganda Indonesia dan Lee Chong Wei pemain tunggal dari Malaysia.
“Kalau idola dalam dunia badminton itu untuk dari ganda ada koh Candra ya, yang juara pada Olimpiade Sydney 2000. Sedangkan di luar negeri Lee Chong Wei, pemain tunggal Malaysia. Di zamannya senang saya cara mainnya, lincah dan agresif,” tuturnya.
Pindah ke Pulau Jawa Mewujudkan Mimpi Menjadi Pemain Profesional
Sekitar tahun 2011, Robin remaja yang terus termotivasi menjadi pemain profesional memutuskan untuk pindah ke Pulau Jawa. Keputusan Robin juga mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya khususnya Sang Ibu, Tim JBS Toboali dan PBSI Basel.
“Kalau dari keluarga mendukung sekali ya, khususnya kedua orang tua. Karena kalau orang tua saya pribadi tidak meminta anaknya harus seperti jadi apa yang mereka inginkan. Mereka sangat mendukung, selalu mendoakan apalagi ibu,” katanya.
Ketika berada di Pulau Jawa, dia sama sekali tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Setiap harinya, Robin selalu berlatih di pelbagai tempat. Kadang di Jakarta, Banten, Jawa Barat dan daerah lainnya. Ia bilang, ini adalah salah satu metode dalam meningkatkan kemampuan.
“Saya tidak berlatih di satu tim, kadang saya latihan di Jakarta, kadang Banten dan di Jawa Barat , intinya pindah-pindah, menambah jam terbang dan bisa mendapat ilmu baru. Kalau pendidikan tetap prioritas, sambil jalan aja waktu itu, latihan lanjut, pendidikan jalan,” sambungnya.
Hari berganti hari dan tahun berganti tahun, namun semakin kesini ia menilai ketekunan dan kerja kerasnya menjadi pemain profesional belum begitu membuahkan hasil. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk gantung raket dan mencoba peruntungan menjadi pelatih.
“Saya merasa saat itu prestasi saya tak terlalu banyak atau bisa dibilang sudah mentok saya berinisiatif berkecimpung di dunia kepelatihan. Motivasi saya bagaimana anak didik yang saya bina tidak gagal seperti saya, berprestasi di tingkat nasional dan internasional,” kata dia.(bersambung)