PANGKALPINANG, KABARBABEL.COM – Sidang perkara PTUN PT Pulomas Sentosa terus berlanjut, kali ini PT Pulomas Sentosa menghadirkan Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) yang menjadi saksi ahli pada perkara tersebut karena memiliki kompetensi dalam bidang administrasi negara.
Dalam keterangannya, Dr Tri Hayati Dalimunthe mengatakan, sebagai landasan hukum administrasi pemerintahan, seorang pejabat pemerintahan di Indonesia mesti mempedomani Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam membuat keputusan oleh pejabat pemerintahan harus memenuhi asas legalitas, mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta asas umum pemerintahan yang baik.
“Setiap pejabat pemerintah harus mengimplementasikan asas-asas pemerintahan dalam membuat keputusan-keputusan atau melakukan tindakan. Ini wajib, harus dilakukan,” tuturnya.
Di antaranya, dia menyebutkan keputusan pejabat pemerintahan mesti memenuhi asas kepastian hukum, asas ketidakberpihakan, asas manfaat, serta asas kecermatan.
Tentang asas manfaat, Tri Hayati menyebutkan salah satu bentuknya berupa diskresi yang dilakukan pejabat pemerintah. Diskresi ini bisa dilakukan dalam keadaan normal dan kondisi darurat.
Kondisi normal dikatakannya, antara lain bila ada pilihan hukum, maka pejabat bisa memilih, namun kembali lagi penerapannya mengacu kepada asas umum pemerintahan yang baik. Kemudian, bila ada multitafsir maka pejabat miliki kewenangan diskresi. Dan, jika ada kekosongan hukum.
Adapun diskresi di dalam kondisi darurat, Tri Hayati mengatakan diskresi bisa diterbitkan pejabat pemerintah apabila terjadi force majeur, misalnya bencana, gempa, banjir, atau tsunami.
“Jika ada diskresi yang bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik, maka itu ada cacat yuridis, sepanjang itu dapat dibuktikan,” tuturnya.
Berkaitan dengan pemberian surat keputusan dari pejabat pemerintah atas suatu pelanggaran, menurut Tri Hayati pejabat pemerintah tidak boleh melanggar, harus sesuai dengan waktu yang ditentukan. “Karena ini kewajiban,” imbuhnya.
Tentang batas waktu itu, kuasa hukum Pulomas di persidangan sebelumnya menyoal pemberian surat penghentian izin operasional yang baru diberikan oleh Gubernur Babel kepada Pulomas dalam jangka waktu 49 hari setelah diterbitkan.
“Sesuai ketentuan, jangka waktu pemberian surat itu maksimal 14 hari kerja. Faktanya, penggugat baru mendapatkan dalam 49 hari kerja setelah terbit objek sengketa pertama,” tutur kuasa hukum PT Pulomas Sentosa, Mardi Gunawan, kepada wartawan, usai persidangan sebelumnya.
Persoalan terbitnya pencabutan izin berusaha PT Pulomas Sentosa oleh Gubernur Babel juga menjadi pokok persoalan. Sebab, surat pencabutan itu terbit di saat PT Pulomas sedang menjalani sanksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dengan jangka waktu 180 hari untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Menurut keterangan ahli, ketika menteri sudah mengambil alih, maka kewenangannya ada di menteri.
“Ketika menteri sudah mengambil alih, gubernur harusnya meng-hold dulu. Biasanya kan di surat ada CC-nya sebagai pihak yang ditembuskan. Ini harus menunggu selesaikan dulu, sanksinya dari kementerian,” jelas Tri Hayati.
Kepada ahli, kuasa hukum PT Pulomas juga bertanya tentang status sanksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diberikan kepada PT Pulomas Sentosa.
“Kalau saya melihat dari yuridis formal, sanksi dari kementerian masih berlaku. (Otomatis) sanksi dari gubernur tidak berlaku,” jelasnya.
Sidang ini dipimpin oleh Syofyan Iskandar SH, MH sebagai ketua majelis hakim di mulai pada pukul 09.00 WIB dan berakhir pada pukul 21.50 WIB di ruang sidang utama PTUN Pangkalpinang